Kotak-kotak Sang Birokrat

J. Edgar Hoover

Wajahnya persegi, dunianya persegi. Sewaktu kecil, tiap hari ia menuliskan rencana kerjanya yang akan ia taati besok. Di hari tua ia juga menaati acara makan di restoran yang sama bertahun-tahun, dengan menu yang sama bertahun-tahun. Pak Hoover adalah sebuah stabilitas.

Ia dibesarkan sebagai anak pegawai negeri di Washington, dan kemudian jadi pegawai negeri di Washington, dan wafat dalam umur 77 sebagai pegawai negeri di Washington: kotak demi kotak yang nyaris tanpa variasi.

Seorang penulis biografinya menyebutkan bahwa dunia Hoover hanyalah “dunia Seward Square”, daerah kelas menengah di sekitar Bukit Capitol, tempat ia tinggal sampai hampir setengah baya. Lingkungan itu seakan-akan suatu homogenitas yang kekal, dengan nilai-nilai yang tradisional dan tegar, bahwa kebajikan adalah ketaatan, ketekunan, mulut yang tak omong kotor, tubuh yang tak suka cabul, dan iman dan keyakinan yang beres.

Lingkungan yang seperti itu memang sukar untuk toleran kepada segala sesuatu yang ribut. Yang dikehendaki adalah tata tentrem, bukan coba-coba dan gara-gara. Dan sikap itulah yang memang menegas pada diri Pak Hoover, ketika ia kemudian jadi penjaga agung ketertiban tanah airnya, negara hukum Amerika. Di tahun 1924, Hoover — lengkapnya J. Edgar Hoover — diangkat sebagai direktur pada Biro Investigasi. Kemudian terbukti tak ada orang lain yang lebih cocok: Hoover terus-menerus di sana sampai sekitar 50 tahun. Delapan presiden berganti-ganti di Gedung Putih, tapi Hoover tetap pada posnya, stabil.

Biro itu kemudian termahsyur sebagai FBI. Di bawah Hoover, FBI — semula cuma bagian kecil kantor Kejaksaan Agung — menjadi sebuah organisasi tersendiri yang termahsyur. Juga sebuah legenda. Cerita detektif dalam komik dan film, dalam radio dan TV, tak putus mendongeng tentang agen rahasia FBI yang perang dan menang melawan pelanggar hukum.

Nama harum itu sebagian karena Hoover seorang jenius dalam menyusun organisasi dan menjaga kebersihannya, sebagian lain karena Hoover pintar main publisitas. Ia memang bukan pegawai negeri sembarangan.

Ia bisa membangun wewenang yang hampir mutlak. FBI dengan segera ia pisahkan dari campur tangan para politikus — dari wakil rakyat sampai dengan presiden — dan dari jaring-jaring ruwet pemerintahan. Agen yang direkrutnya harus lulus pendidikan hukum atau akunting. Kejujuran dan kebersihan mereka diteliti. Dengan itu, FBI tumbuh jadi satu pasukan besar pegawai dan agen rahasia khusus, yang selama kepemimpinan Hoover tak pernah ternoda oleh suap dan kejahatan.

Hoover sendiri memang contoh akhlak yang keras. Ia tak gemar kenikmatan hidup. Ia, sewaktu muda pernah ingin menjadi pendeta, sampai mati adalah seorang hamba hukum yang tak pernah beristri. Ia tetap tinggal di rumah ibunya sampai umurnya 38 tahun, dan baru pindah setelah sang ibu meninggal. Di waktu senggang ia menonton balap kuda di kelas US$ 2, dan bila akhirnya ia nampak di klub malam, ia cuma minum sebotol (tak pernah lebih) Jack Daniels.

Pada Hoover memang ada sesuatu yang mendisiplinkan dunianya untuk jadi sejenis mesin. Seorang penulis pernah menyebutnya sebagai the ultimate bureaucrat. Seorang birokrat lahir batin, bukan seorang James Bond dengan glamor lelaki jagoan. Hoover, anak Seward Square, memang bukan pemberani. Pernah di tahun 1936 pers memotretnya ketika ia sendiri maju menyergap penjahat besar Alvin ‘Old Creepy’ Karpis. Tapi kemudian Karpis bercerita, sebenarnya bos FBI itu baru kemudian muncul — untuk dipotret — setelah anak buahnya berhasil meringkus sang buron.

Hoover tak pernah yakin sukses FBI adalah sukses perseorangan. Organisasi, itulah yang menyebabkan agen-agen FBI berhasil. Cara ilmiah, itulah yang membongkar kejahatan. Biro itu cepat bisa menangkap penjahat dan spion, karena ia punya laboratorium kriminalitas dan perpustakaan sidik jari yang mengesankan.

Bila ia kemudian berpotret sebagai seorang hero, itu hanyalah bagian dari siasat Hoover agar FBI didukung masyarakat. Bila ia kemudian membiarkan (bahkan mengawasi) pembuatan cerita TV tentang kehebatan agen rahasianya, itu karena ia ingin membuat gentar para penjahat — dan juga para politikus di dalam dan di luar Senat, yang ingin memakai FBI buat pihaknya. Hoover adalah seorang yang berhasil menegakkan kemandirian birokrasi dari persaingan dan pergantian para pemegang kekuasaan politik, yang umumnya mengikuti angin yang berubah-ubah. “Di atas segalanya,” tulis Alan Brinkley dalam The New York Review of Books baru-baru ini, “karier Hoover, sejak awal hingga akhir, adalah kisah kemenangan sang birokrat.”

Birokrasi memang akhirnya, sebagai sesuatu yang ajek, menang — siapa pun yang memerintah, dan itulah mungkin pelajaran pokok sebuah negara modern. Hoover sendiri, sebagai tokoh, uzur. Masyarakat Amerika berubah dengan keributan bagai badai, dan ia tak bisa mengerti. Malangnya, ia masih tetap di posnya seperti 50 tahun yang lalu: sang pahlawan yang akhirnya dicemoohkan.

Seandainya ia cepat menyadari ia hanya satu elemen dalam mesin birokrasi yang ia jaga efektivitasnya bertahun-tahun. Seandainya ia sadar ia juga bisa aus.

***

Goenawan Mohamad

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.