Seminggu Pegang Kamera Langsung Terjun Dokumentasi

Museum KAA Bandung

Beberapa foto dan dokumen di Museum Konferensi Asia Afrika, Bandung dengan latar kesibukan teman-teman SMP seangkatan.

Masih ingat dengan tulisan saya tentang kamera film analog 35mm (Nostalgia Kamera Film Analog Novacam I)? Nah, kira-kira pada pertengahan Ramadhan kemarin saat saya merapikan tumpukan buku-buku tempo dulu di dalam kardus berdebu saya temukan kembali beberapa sisa foto pertama saat saya pertama kali pegang kamera. Alhamdulillah. Foto-foto tersebut adalah sisa foto yang saya simpan dalam binder ketika saya lulus SMP. Saya sebut sisa karena beberapa foto yang sudah dicetak digunakan sebagai foto dokumentasi dalam karya tulis dan yang lainnya diambil oleh teman-teman saya sebagai kenang-kenangan. Bukan cuma foto cetakannya saja, klise fotonya juga diambil! Kurang asem, heuheuheu. ๐Ÿ˜€

Saya ingat seminggu sebelum pergi karya wisata ke Bandung saya diajarkan cara menggunakan kamera analog oleh pakdhe dan ayah saya. Bagaimana cara memasukan roll film baru ke dalam kamera, bagaimana menyalakan kamera, cara membidikan kamera dengan view finder, cara memilih ISO dan menyalakan flash,ย menekan tombol rana (shutter) dan apa yang tidak boleh dilakukan selama masih ada roll film di dalam kamera. Semua itu dilakukan di kamera milik pakdhe saya. Setelah itu saya membeli kamera analog saya sendiri, Novacam I.

Hal yang tidak diajarkan adalah apa yang harus dilakukan ketika semua film dalam roll tersebut sudah terpakai. Ini kelak saya pelajari sendiri dengan kamera saya ketika tugas dokumentasi karya wisata di Bandung selesai. Hal lain yang tidak diajarkan adalah bagaimana komposisi foto yang ingin ditangkap dalam frame foto atau komposisi framing. Saya mengandalkan rasa estetika saya sendiri dan melihat contoh-contoh foto dalam album foto keluarga yang sudah dicetak.

Dulu saya dan teman-teman patungan membeli roll filmnya. Murid dalam satu kelas sudah dibagi menjadi beberapa kelompok. Saya kebagian tugas untuk membuat foto dokumentasi yang kemudian hasil dokumentasi tersebut dituangkan dalam karya tulis. Bukan karena saya bisa memotret tapi karena dalam kelompok cuma saya yang siap dengan kamera hahaha. ๐Ÿ˜€ Tidak seperti kamera digital zaman sekarang yang hasil fotonya bisa langsung dilihat, kamera film zaman dulu setelah kita memotret kita tidak tahu hasilnya seperti apa. Apakah bagus ataukah malah terbakar? ๐Ÿ˜€

Godaan terbesar saat menggunakan kamera film analog adalah ketika melihat pemandangan yang indah atau momen-momen yang meaningful, momen sarat makna untuk disimpan sebagai kenang-kenangan. Kita harus insyaf kalau roll film dalam kamera terbatas dan harus bisa menggunakannya dengan efisien sampai satu kegiatan ini terdokumentasi dengan baik. Apalagi saat itu ketika berangkat ke Bandung kami lewat jalur Puncak. Nah, tahu sendiri kan keindahan pemandangan alam di Puncak. Puncak zaman dulu lebih asri daripada Puncak zaman sekarang, naik sedikit dari terminal Ciawi sudah bisa menikmati kabut. Tangan ini rasanya gatal sekali ingin membidikan kamera dari balik kaca bus. Heuheuheu. ๐Ÿ™‚

Singkat cerita ketika sampai di Bandung kami langsung ke Museum Konferensi Asia Afrika atau Gedung Societeit Concordia. Di sana saya sibuk mengambil foto-foto dokumentasi untuk karya tulis. Tantangan terbesarnya adalah memilih objek foto dokumentasi yang tepat dan cahaya dalam museum yang redup. Nah, setelah selesai di Museum Konferensi Asia Afrika kami semua diberikan sesi bebas kreatif. Jalan-jalan ke Gunung Tangkuban Perahu. ๐Ÿ˜€

Sedikit cerita ketika kelompok saya menyusun karya tulis. Jadi, walaupun dulu sudah ada Windows 95 dan Microsoft Office 97, tapi semua orang dalam kelompok saya tidak ada yang punya komputer! Hahaha… Alhasil ayah saya meminjam mesik ketik manual dari kantor. Begitupunย  teman satu kelompok saya. Ternyata bukan hanya kelompok saya yang menggunakan mesik ketik manual, kelompok lain juga banyak. ๐Ÿ˜€

Perjuangan sekali belajar mengatur margin di mesin ketik, cara memposisikan kertas, mengetik harus benar-benar teliti jangan sampai salah ketik. Paling stres kalau sudah salah ketik. Tidak ada fasilitas undo atau tombol backspace. ๐Ÿ˜€ Harus menggeser kertas kemudian pakai stip atau type-x khusus mesin ketik. Untuk meletakan foto yang sudah dicetak dari klise, kami harus menyiapkan ruang di halaman yang sedang kami ketik agar cukup. Tidak kurang atau tidak lebih, supaya ketika fotonya ditempel halamannya terlihat rapi.

Berikut ini adalah beberapa sisa foto dokumentasi di Museum Konferensi Asia Afrika dan Gunung Tangkuban Perahu:

Museum KAA Bandung

Dokumen-dokumen di rak display Museum Konferensi Asia Afrika, Bandung.

Museum KAA Bandung

Teks Pancasila di Museum KAA, Bandung.

Gunung Tangkuban Perahu

Ceritanya ingin memotret kawah Gunung Tangkuban Perahu heuheuheu. ๐Ÿ™‚

Gunung Tangkuban Perahu

Dua orang sahabat dekat saya ketika SMP. Saya ingin menyimpan kenang-kenangan mereka tapi sisa film tinggal sedikit, makanya saya minta mereka berpose dalam satu frame. Mereka bukan couple, jadi terlihat kaku di foto. Latar belakang pemandangan foto ini indah, ada kabut, pohon dan puncak gunung. Tapi apalah daya sensor kamera analog yang cuma bisa merekam seperti itu adanya. ๐Ÿ˜€

Gunung Tangkuban Perahu

Playboy tjap kecoa (kiri) dan salah satu teman beda kelas (kanan). ๐Ÿ™‚

Demikianlah kenang-kenangan yang bisa saya bagikan saat Indonesia mengalami peralihan teknologi dari manual ke digital. Sebuah kenangan yang mungkin tidak akan dialami lagi oleh generasi pada masa yang akan datang.

Selamat Idul Fitri 1445H. Salam hangat dari kota hujan.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.