Solo Riding Ke Curug Nangka (Bagian I: Perjalanan Dimulai)

Di halaman sebuah villa di Ciapus, setelah berbelok ke kiri dari The Highland Park Resort Hotel Bogor. Sudah dekat dengan pintu masuk kawasan wisata Curug Nangka.

Di halaman sebuah villa di Ciapus, setelah berbelok ke kiri dari The Highland Park Resort Hotel Bogor. Sudah dekat dengan pintu masuk kawasan wisata Curug Nangka.

Sudah lama rasanya saya tidak melakukan perjalanan ke sudut-sudut terpencil wilayah Bogor. Kesibukan di Depok selama ini membuat saya terpaksa menikmati kondisi lalu lintas yang kian hari kian terasa bertambah macet dan menjemukan. Alhamdulillah, pada hari Sabtu tanggal 27 Desember 2014 kemarin ada kesempatan untuk menjelajahi kembali wilayah Bogor yang selama ini saya rindukan. Cuaca mendung dan hujan deras yang selama ini mendera Jabodetabek tidak membuat niat saya surut untuk menyalurkan hasrat berkendara seorang diri menikmati keindahan alam Bogor. Perjalanannya sendiri tidak saya rencanakan, tapi niat untuk melakukannya sudah tersimpan dari jauh hari. Jam berapa harus berangkat, rute mana yang harus saya lewati, dan hal-hal lainnya benar-benar tidak saya rencanakan. Satu hal yang saya tahu, tujuan saya ada di Ciapus.

Jika pagi hari biasanya saya masih berkutat di depan komputer, maka pagi itu setelah berbenah dan bersih-bersih, tiba-tiba mood berkendara muncul. Saya langsung menyiapkan Si Sepira yang akan saya tunggangi. Berangkat kira-kira pukul delapan lebih tiga puluh menit, ketika sampai di jalan raya Bojonggede tiba-tiba hujan turun. Menepi sebentar, saya mengenakan jas hujan dan melanjutkan perjalanan. Melewati stasiun Bojonggede, Si Sepira saya arahkan menuju Sudimampir kemudian mengarah ke Billabong. Dengan asumsi ada kemacetan di Cilebut dan Jalan Baru sampai Kebon Pedes, saya enggan melewati jalur tersebut.

Keluar dari gerbang Billabong, saya melewati daerah Kemang, Parung. Jalan lurus yang banyak dilewati kendaraan besar ini sangat nyaman untuk dilewati karena cukup lebar dan jarang macet. Hujan deras masih mengguyur saya. Melewati Yasmin, Salabenda ternyata terjadi kemacetan di jalan KH. Sholeh Iskandar. Cukup lama juga saya merambat di jalan tersebut, hingga akhirnya saya memutuskan untuk berbalik arah di U-Turn. Kemudian saya mengarah ke jalan alternatif Balai Kota menurut penunjuk jalan. Setelah melewati Lotte Mart, masuk ke jalan Abdullah bin Nuh kemudian berbelok ke kiri. Saya kemudian melewati daerah Johar kemudian Cimanggu. Sesampainya di pertigaan Cimanggu Perikanan, saya arahkan Si Sepira ke kanan. Kalau tidak salah, teman saya menyebut daerah ini Warung Legok.

Di pertigaan Warung Legok saya berbelok ke kanan, melewati Balitbiogen (Balai Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Genetika Pertanian) kemudian saat sampai di perempatan lampu merah, saya berjalan lurus di jalan Merdeka sampai akhirnya berbelok menuju jalan Ciwaringin. Melewati Ciwaringin, kemudian berbelok ke kanan arah stasiun Bogor dan menuju jalan Kapten Muslihat. Kemacetan tak terhindarkan di depan dan samping stasiun Bogor. Banyak angkot berhenti menunggu penumpang. Bogor memang kota sejuta angkot, tidak heran kalau supir angkot pun punya klub sendiri disini.

Menyusuri jalan Ir. H. Juanda lalu saya mengambil putaran di depan Bogor Trade Mall (BTM) mengarah ke Pulo Empang. Inilah rute Ciapus. Seharusnya saya bisa saja mengikuti rute angkot 03 jurusan Ramayana-Ciapus (melewati Sukamantri). Tapi bukan itu yang saya lakukan. Saya memilih memutar, dari jalan menuju Ciapus saya berbelok ke kanan menuju Ciomas. Melewati jalan Aria Suriadilaga kemudian tiba di kelurahan Pasir Kuda. Berdasarkan pengalaman, kalau melewati jalan menuju Sukamantri langsung, jalannya menanjak dan sempit. Agak sulit jika saya mau menyalip angkot di depan saya.

Hujan dan jalan sepi yang tidak ramai angkot dan lebih banyak turunan saya lalui di Ciomas. Setibanya di pertigaan Kreteg, saya berbelok ke kiri menuju arah Ciapus. Waktu berangkat saya lihat fuel meter masih menunjukan tanda full, lima bar. Sesampainya di sana terlihat sudah empat bar. Saya masih santai walau tidak ada SPBU karena masyarakat setempat banyak yang menjual bensin eceran ketika saya perhatikan kiri-kanan. Alhamdulillah, setelah beberapa menit meniti jalan menuju Ciapus, hujan reda. Saya pun berhenti untuk melepas kemudian merapikan jas hujan di halaman sebuah toko yang ditutup.

Merapikan jas hujan di sebuah halaman toko di Ciomas, menuju Ciapus.

Merapikan jas hujan di sebuah halaman toko di Ciomas, menuju Ciapus.

Belum selesai merapikan jas hujan, saya lihat ada matic menghampiri saya. Kemudian si pengendara membuka rolling door toko di belakang saya. Pemilik tokonya ternyata. Setelah saya selesai merapikan jas hujan, dengan sedikit berbasa-basi saya membuka percakapan dengan dia.

“Pak, kalau ke Curug Nangka masih jauh, nggak?” Kemudian dia menjelaskan, “Masih. Lurus aja terus, nanti ada belokan belok kanan, terus ambil kiri terus. Nantikan ada tuh jalan lurus turun ke kanan, jangan ambil itu. Ambil yang kiri. Itu rumusnya ke Curug Nangka.” Saya pun berterima kasih. Kemudian dia menutup kembali rolling door-nya dan mengendarai lagi matic-nya. Coba cek handphone, ternyata masih ada sinyal dan ada sebuah tanda pesan BBM masuk. Balas pesannya dulu, kemudian saya kembali melanjutkan perjalanan menuju Ciapus.

Pertigaan jalan Ciomas-Ciapus.

Pertigaan jalan Ciomas-Ciapus.

Tiba di pertigaan, saya lihat penunjuk jalan arah Ciapus belok ke kiri. Tapi saran dari bapak tadi lurus terus sampai ada belokan ke kanan. Saya pun berjalan lurus. Sesekali angkot biru terlihat berpapasan dengan saya. Setelah berbelok ke kanan saya pun mengikuti jalan dan tibalah jalan lurus menurun yang dikatakan oleh bapak tadi. Saya berbelok ke kiri dan memasuki jalan yang lebih kecil. Sepertinya jalan kampung, karena beberapa warga terlihat di halaman rumah.

Jalan aspal berkerikil di pemukiman warga di Ciomas.

Jalan aspal berkerikil di pemukiman warga di Ciomas.

Menyusuri jalan perkampungan, kondisi aspal di beberapa titik rusak. Terlihat banyak pasir dan kerikil di jalan. Sesekali saya berpapasan dengan pengendara motor. Jalan kemudian menyempit dan menanjak. Banyak lahan kosong dan sawah di kanan-kiri jalan. Jalan khas daerah pegunungan di Bogor. Kopling lebih sering bermain di gigi satu dan gigi dua. Coba tengok fuel meter ternyata tinggal tiga bar. Karena jalan menanjak agak curam sepanjang beberapa ratus meter. Tidak lama kemudian pemandangan gunung yang berkabut terhampar di hadapan saya.

Hijaunya pemandangan pepohonan dan gunung yang berkabut di Ciomas.

Hijaunya pemandangan pepohonan dan gunung yang berkabut di Ciomas.

Jalan terus menanjak dan landai di beberapa titik. Perumahan warga pun sudah tidak terlihat lagi. Hanya gunung, pepohonan dan lahan kosong terhampar sepanjang jalan. Sambil memesrai tanjakan di jalan dengan aspal yang sudah tidak rata tersebut, tiba-tiba di kejauhan saya lihat ada beberapa bangunan yang tidak berbentuk seperti pemukiman penduduk setempat. Lebih menyerupai villa di tengah-tengah lahan kosong dan hijaunya pepohonan.

Sesekali berpapasan dengan warga sekitar Ciomas.

Sesekali berpapasan dengan warga sekitar Ciomas.

Beberapa bangunan terlihat di tengah-tengah lahan kosong. Villa or something?

Beberapa bangunan terlihat di tengah-tengah lahan kosong. Villa or something?

Aspal semakin banyak yang rusak dan jalanan sepi sekali. Sudah tidak terlihat pemukiman, apa lagi penjual bensin eceran. Wah, bisa repot kalau saya kehabisan bensin di tempat seperti ini. Saya coba cek handphone. Ah, ternyata sudah tidak ada sinyal. Cuma tulisan SOS warna merah sebagai indikator. Agar tidak menghabiskan baterai, saya menonaktifkan sinyal handphone. Oleh karena itulah, saya enggan mengandalkan peta di handphone saat berada di wilayah pelosok seperti ini. Saran dari warga setempat lebih saya sukai. Saya kemudian melanjutkan perjalanan mengikuti saran dari bapak tadi. Ternyata tidak lama kemudian saya melihat jalan raya lagi. Coba menyapa seorang warga yang kemudian menyarankan saya berbelok kanan di jalan raya tersebut.

Alhamdulillah, akhirnya saya temui penjual bensin eceran disana. Menepi ke kanan, kemudian saya parkir Si Sepira di jalan yang menurun tersebut lalu membuka jok dan tutup tangki. Lihat isi tangki sepertinya tinggal setengah. Ibu penjual bensin tersebut kemudian menyapa dan saya membalas, “Bensinnya, bu.” Dia membalas, “Berapa liter?” Saya lihat tangki sekali lagi lalu, “Seliter aja, bu.” Ibu tersebut kemudian masuk ke kiosnya dan kembali membawa ember dan corong. Jika biasanya penjual bensin eceran menggunakan botol, kios bensin dan solar milik ibu ini menggunakan ember. Kiosnya lumayan besar, tidak seperti penjual bensin eceran kebanyakan yang hanya berjualan di pinggir halaman rumah dengan botol-botol bensin berjajar diatas rak kayu. Selesai mengisikan bensin, ibu tersebut menutupkan tangki bensin saya. Ternyata harga per liter bensin eceran disini sepuluh ribu rupiah. Saya kunci jok kemudian menghidupkan mesin dan fuel meter kembali menunjukan indikator penuh.

Mengisi bensin dahulu di penjual bensin eceran di Ciapus.

Mengisi bensin dahulu di penjual bensin eceran di Ciapus.

Saya terus mengikuti jalan menurun tersebut. Tidak jauh kemudian, saya tiba di pertigaan The Highland Park Resort Hotel Bogor. Beberapa remaja terlihat sedang menunggu kedatangan angkot. Setelah tiba sebuah angkot, terlihat sepertinya mereka hendak mencarter angkot tersebut. Jalur angkot sendiri berbelok ke kanan, sedangkan Curug Nangka berbelok ke kiri dari pertigaan hotel tersebut. Sepertinya dari pertigaan The Highland Park Resort hingga ke Curug Nangka sudah tidak ada angkot. Saya pun mengarahkan Si Sepira ke kiri.

The Highland Park Resort Hotel Bogor

The Highland Park Resort Hotel Bogor

Saya perhatikan ada beberapa villa di kanan-kiri jalan. Aspal jalannya pun mulus dan lebih sering terlihat mobil-mobil pribadi dan motor yang berlalulalang. Rintik-rintik gerimis kembali turun setibanya saya disana. Walaupun demikian, saya membuka kaca helm untuk lebih menikmati pemandangan villa, pepohonan, gunung dan kabut serta menghirup sejuknya udara pegunungan.

Pemandangan villa-villa sungguh mempesona. Rasanya jadi ingin menyewa satu villa kemudian menginap disana sambil menghabiskan akhir pekan. Tapi ada yang lebih mempesona. Indahnya pemandangan alam ini. Untuk itulah saya rela berkendara hujan-hujanan. Sensasi yang hanya bisa ditandingi saat saya berhasil menyelesaikan satu kerumitan di depan komputer.

Pemandangan halaman sebuah villa menjelang pintu masuk kawasan wisata Curug Nangka.

Pemandangan halaman sebuah villa menjelang pintu masuk kawasan wisata Curug Nangka.

Beberapa menit kemudian, setelah menikmati pemandangan villa-villa, tibalah saya di pintu gerbang kawasan wisata Curug Nangka. Disini saya membayar tiket masuk seharga tujuh ribu lima ratus rupiah. Menurut penjelasan dari petugas loket, nanti masih harus membayar lagi di gerbang berikutnya seharga dua belas ribu lima ratus rupiah.

Sesampainya di pintu gerbang ini, rintik-rintik gerimis mulai berhenti dan langit yang tadinya mendung sudah terlihat semakin cerah. Matahari sudah mulai menampakan sinarnya kembali. Hujan diawal perjalanan ternyata tidak mengganggu acara jalan-jalan saya hari itu.

Pintu masuk kawasan wisata Curug Nangka.

Pintu masuk kawasan wisata Curug Nangka.

Melanjutkan perjalanan dari gerbang pertama, ternyata di dalam masih ada villa. Pemandangan kota Bogor di kejauhan pun terlihat dari ketinggian di sebelah kanan saya. Saat sampai di gerbang kedua saya pun harus membayar lagi sejumlah uang yang tadi disebutkan oleh petugas loket di gerbang pertama.

Sebuah villa di kawasan wisata Curug Nangka.

Sebuah villa di kawasan wisata Curug Nangka.

Serombongan pengendara sepeda gunung di pintu masuk kedua kawasan wisata Curug Nangka.

Serombongan pengendara sepeda gunung di pintu masuk kedua kawasan wisata Curug Nangka.

Di gerbang kedua ini, saya lihat serombongan pengendara sepeda gunung dengan apparel lengkap. Beberapa diantaranya menggerutu dengan cara petugas loket. “Kenapa nggak dijadikan satu aja, sih? Kesannya kan jadi gimana gitu!” Saya mengerti kenapa mereka mengeluh. Cara seperti ini terkesan petugasnya melakukan semacam pungutan tidak resmi. Karena memang di gerbang kedua ini tidak ada bukti transaksi, tidak seperti tiket yang diberikan di gerbang pertama. Alasan dari petugas adalah karena kami membawa kendaraan.

Pohon pinus terlihat tumbuh tinggi-tinggi di tepi jalan. Harum pinus dan udara sejuk serta pemandangan indah inilah yang membuat wisatawan melupakan lelah dan rindu untuk kembali. Saya pun mengabadikan beberapa foto pemandangan jalan ini. Beberapa pengendara sepeda tadi juga berhenti untuk memotret.

Alhamdulillah, akhirnya sampai. Beberapa ratus meter dari pintu gerbang kedua tadi, sudah terlihat tempat parkir mobil dan motor. Saya lihat layar handphone, waktu menunjukan jam sebelas lewat tiga puluh menit. Ada beberapa anak muda yang bertugas memberikan karcis parkir. Tidak ada harga yang tertera pada karcis parkir tersebut. Jadi, sewaktu-waktu bisa berubah. Lahan parkirnya pun terkesan agak kotor karena banyak sampah plastik sisa kemasan makanan berserakan.

Saya parkirkan Si Sepira di tempat parkir khusus motor. Letaknya di depan kios-kios yang menjual panganan. Sayang tempat parkir motornya tidak ada atapnya. Beberapa anak muda disana membantu menentukan tempat dan mengingatkan saya agar mengunci motor dan helm. Tentu saja, itukan standar operating procedure kalau saya parkir.

Selesai memarkirkan Si Sepira, saya tidak langsung menuju Curug Nangka. Seperti biasa saat tiba di suatu lokasi saya melakukan orientasi di sekitar wilayah dengan mengambil beberapa foto. Ada aliran sungai yang menarik perhatian saya disana. Jadi, saya turun ke sungai tersebut untuk memotret.

Dinginnya air sungai membasahi tangan saya. Menikmati jernihnya air sungai seakan membuat saya tidak sabar untuk mencumbui panorama alam di Curug Nangka. Pemandangan di luar kawasannya saja sudah begitu indah. Apalagi di dalamnya. Nuansa hijau pepohonan, beningnya air dan putihnya kabut membuat setiap inci kawasan ini terlalu berharga untuk dilupakan begitu saja tanpa mengabadikannya dalam foto. Tidak setiap hari saya menemui pemandangan indah dan alami seperti ini. Setelah memotret pemandangan di sungai ini, saya naik kembali menuju tempat parkir.

Ada beberapa wisatawan lain saya lihat mulai berjalan masuk menuju Curug Nangka melewati jembatan, sedangkan beberapa wisatawan mengarah keluar. Beberapa terlihat memarkirkan motornya. Kios-kios makanan dan cenderamata yang berjajar rapi terlihat masih sepi pengunjung. Selain makanan yang banyak dijual seperti mie instan dalam kemasan dan air minum dalam kemasan, ada juga kios yang menyajikan masakan dapur. Selain itu, kopi dan teh hangat pun banyak dijual di kios-kios ini.

Kios di Kawasan Wisata Curug Nangka

Kios Penjual Makanan dan Minuman Dalam Kemasan di Kawasan Wisata Curug Nangka

Kios Penjual Makanan dan Minuman Dalam Kemasan di Kawasan Wisata Curug Nangka

Kios Penjual Makanan dan Minuman Dalam Kemasan di Kawasan Wisata Curug Nangka

Saya kembali melanjutkan perjalanan, masuk melewati kios-kios dan jembatan menuju Curug Nangka. Suara air sungai terdengar bergemericik di kejauhan. Beberapa anak kecil warga setempat atau mungkin anak pedagang disana terlihat bercanda-canda saat saya berjalan menanjak di tangga menuju lokasi curug. Loncat-loncat diatas tangga yang licin akibat air hujan dan bekas pijakan wisatawan lain. Mungkin mereka sudah terbiasa, jadi tidak takut lagi.

Nantikan kelanjutan tulisan ini di Bagian II: Menelusuri Setapak Aliran Sungai.

5 komentar di “Solo Riding Ke Curug Nangka (Bagian I: Perjalanan Dimulai)

  1. Ping balik: Gowes ke Curug Nangka Lewat Kota Batu – RiderAlit

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.